Awal
tahun
lalu ada
email
yang
dikirim
salah
satu saudara kita yang
menarik perhatian saya. Kalau
tidak salah berjudul Renungan
Akhir Tahun: Seandainya
Surga dan Neraka Tak Ada.
Uraian panjang lebar itu,
menurut saya intinya adalah
satu yaitu masalah ikhlash.
Seberapa besar sih,
keikhlashan kita dalam
beribadah? Sejauh mana sih
pemahaman kita tentang
ikhlash ini? Dan mana sih
dalilnya? Kenapa begitu
penting sampai – sampai
dengan bombastis ditanyakan,
apakah manusia mau tetap
ibadah seandainya tidak ada
surga dan neraka? Saya
mencoba memahami dari
sudut pandang yang berbeda,
yaitu dari dinamika ikhlash ini,
sebab dalil – dalilnya banyak
kita jumpai dengan mudahnya.
Sesungguhnya Kami
menurunkan kepadamu Kitab
(Al Quran) dengan
(membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan
memurnikan agama-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan
Allah-lah agama yang murni.
(QS Az-Zumar 2 - 3)
Dari Abu Umamah ia berkata,
‘ Datang seorang lelaki kepada
Rasulullah SAW dan berkata,
“ Bagaimana pendapatmu
seorang lelaki yang berperang
mencari pahala dan sebutan
(nama), dia mendapatkan
apa ?” Rasulullah SAW
berkata, “Dia tidak
mendapatkan apa – apa.”
Lelaki itu mengulangi
pertanyaannya tiga kali dan
Rasulullah SAW selalu
menjawab, “Dia tidak
mendapatkan apa – apa.”
Kemudian Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya
Allah tidak menerima amal
kecuali apa yang ikhlash
karenaNYa dan dimaksudkan
semata demi wajahNya.
(Rowahu Abu Dawud)
Dari Abu Darda ’, dari Nabi
SAW, beliau bersabda, ‘Dunia
itu dilaknat dan apa yang ada
di dalamnya dilaknat, kecuali
apa yang dicari dengannya
wajah Allah. ” (Rowahu ath-
Thabrani)
Atsar – atsar di atas dengan
jelas menunjukkan pentingnya
ikhlash dalam beramal. Dan
salah satu cerita favorit saya
masalah ikhlash ini adalah
cerita tiga orang yang
terjebak batu di gua. Berikut
salah satu versinya.
Dari Ibnu Umar, dia berkata,
‘ Aku mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Ada tiga
umat dari sebelum kalian
yang sedang bepergian,
sehingga mereka harus
bermalam di sebuah gua,
mereka masuk ke dalamnya.
Lalu sebuah batu besar
menggelinding dari gunung
dan menutup pintu goa.
Mereka berkata, “Yang bisa
menyelamatkan kalian dari
batu besar ini hanyalah doa
kalian kepada Allah dengan
amal baik kalian. ” Salah
seorang dari mereka berkata;
’ Ya Allah! aku dulu
mempunyai kedua orang tua
yang sudah renta dan aku
tidak berani memberikan
jatah minum mereka kepada
keluargaku (isteri dan anak)
dan harta milikku (budak dan
pembantuku). Pada suatu hari,
aku mencari sesuatu di
tempat yang jauh dan
sepulang dari itu aku
mendapatkan keduanya telah
tertidur, lantas aku memeras
susu seukuran jatah minum
keduanya, namun akupun
mendapatkan keduanya
tengah tertidur. Meskipun
begitu, aku tidak berani
memberikan jatah minum
mereka tersebut kepada
keluargaku (isteri dan anak)
dan harta milikku (budak dan
pembantuku). Akhirnya, aku
tetap menunggu (kapan)
keduanya bangun -sementara
wadahnya (tempat minuman)
masih berada ditanganku-
hingga fajar menyingsing.
Barulah keduanyapun bangun,
lalu meminum jatah untuk
mereka. ‘Ya Allah! jika apa
yang telah kulakukan tersebut
semata-mata mengharap
wajahMu, maka
renggangkanlah rongga gua
ini dari batu besar yang
menutup tempat kami berada.
Lalu batu tersebut sedikit
merenggang namun mereka
tidak dapat keluar.
Rasulullah SAW bersabda lagi:
‘ Yang lainnya (orang kedua)
berkata: ‘Ya Allah! aku dulu
mempunyai sepupu
perempuan (anak perempuan
paman). Dia termasuk orang
yang amat aku kasihi, pernah
aku menggodanya untuk
berzina denganku tetapi dia
menolak ajakanku hingga
pada suatu tahun, dia
mengalami masa paceklik,
lalu mendatangiku dan aku
memberinya 120 dinar dengan
syarat dia membiarkan apa
yang terjadi antaraku dan
dirinya; diapun setuju hingga
ketika aku sudah
menaklukkannya, dia berkata:
’ Tidak halal bagimu mencopot
cincin ini kecuali dengan
haknya ’. Aku merasa tidak
tega untuk melakukannya.
Akhirnya, aku berpaling
darinya padahal dia adalah
orang yang paling aku kasihi.
Aku juga, telah membiarkan
emas yang telah kuberikan
kepadanya. Ya Allah! jika apa
yang telah kulakukan tersebut
semata-mata mengharap
wajahMu, maka
renggangkanlah rongga gua
ini dari batu besar yang
menutup tempat kami berada.
Lalu batu tersebut
merenggang lagi namun
mereka tetap tidak dapat
keluar.
Rasulullah SAW bersabda lagi:
‘Kemudian orang ketigapun
berkata: ‘Ya Allah! aku telah
mengupah beberapa orang
upahan, lalu aku berikan upah
mereka, kecuali seorang lagi
yang tidak mengambil haknya
dan pergi (begitu saja).
Kemudian upahnya tersebut,
aku investasikan sehingga
menghasilkan harta yang
banyak. Selang beberapa
waktu, diapun datang sembari
berkata: “Wahai ‘Abdullah!
Berikan upahku!. Aku
menjawab: ’onta, sapi,
kambing dan budak; semua
yang engkau lihat itu adalah
upahmu ’. Dia berkata : ’Wahai
‘Abdullah! jangan
mengejekku!’. Aku menjawab:
“Sungguh, aku tidak
mengejekmu’. Lalu dia
mengambil semuanya dan
memboyongnya sehingga tidak
menyisakan sesuatupun. Ya
Allah! jika apa yang telah
kulakukan tersebut semata-
mata mengharap wajahMu,
maka renggangkanlah rongga
gua ini dari batu besar yang
menutup tempat kami berada.
Batu besar tersebut
merenggang lagi sehingga
merekapun dapat keluar
untuk melanjutkan
perjalanan ’. (Rowahu al-
Bukhary, Muslim, an-Nasa’i)
Kemudian hadits qudsi yang
ini, dari adh-Dhahak bin Qois,
dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda, ”Sesungguhnya
Allah yang Maha Barokah lagi
Maha Tinggi berfirman, ”Aku
adalah sebaik – baik sekutu.
Barangsiapa menyekutukanKu
dengan seorang sekutu, maka
ia untuk sekutuKu. Wahai
manusia, ikhlashkanlah amal –
amal kalian, karena Allah
tidak menerima amal kecuali
apa yang diikhlashkan
untukNya. Jangan kalian
berkata, ’Ini karena Allah dan
kerabat, karena ia adalah
karena kerabat dan tak ada
sedikitpun darinya yang
karena Allah. Jangan pula
berkata ini karena Allah dan
wajah – wajah kalian, karena
ia adalah karena wajah –
wajah kalian, dan tak
sedikitpun darinya karena
Allah. ” (Rowahu al-Bazzar dan
al-Baihaqi)
Nah, menerawang kembali
dalil – dalil di atas,
terlintaslah apa yang sering
diingatkan Pak Haji Djuanda
dulu untuk mengingat kembali
dan meneliti agar satu-
satunya diri bisa menjaga tiga
kunci kemurnian selalu. Yaitu
murni niat, murni pedoman
dan murni amalan. Dan
setelah tabrak sana – tabrak
sini, kebentur sana – kebentur
sini, kejedot sana kejedot sini,
baru nyadar ternyata ikhlash
itulah padanan lain dari kata
murni. Terutama untuk
kemurnian niat. Ikhlash
adalah memurnikan ibadah
hanya karena Allah. Ikhlash
adalah memurnikan ibadah
untuk mencari wajah Allah.
Ikhlash adalah kesadaran
beribadah karena tahu akan
hak dan kewajiban atau
kebaikan mengalahkan yang
lain - lainnya. Bukan karena
paksaan. Maka bagi yang ingin
mendapatkan kejelasan lebih
lanjut, bandingkanlah ikhlash
ini dengan riya. Ikhlash tidak
boleh ada embel – embel lain,
ditumpangi atau disertai
dengan lainnya. Bahkan dalam
penyederhanaannya, Deddy
Mizwar mencoba memberikan
pemerian ikhlash dalam film
Kiamat Sudah Dekat sebagai
syarat terakhir dalam mencari
menantu.
Membaca kembali dalil – dalil
di atas, bukan bermaksud
menggurui - rasanya ikhlash
merupakan hal penting dalam
beribadah. Ikhlash pegang
peranan kunci dalam diterima
atau ditolaknya amalan.
Tanpa mengurangi rasa
hormat, tanpa bermaksud
berpanjang kali lebar, hal ini
sering dinasehatkan dengan
kalimat sederhana ”disertai
niat mukhlish lillah karena
Allah ”. Dan tentunya, seiring
dengan naik – turunnya
keimanan itu sendiri,
pemahaman, pencapaian dan
pengertian ikhlash ini sangat
tergantung bagaimana setiap
insan mereposisi diri, mau
fastabiqul khairot atau pilih
yang sedang – sedang saja.
Akhirnya, anda sendirilah
yang bisa mengukur dan
menjawabnya.
Labels : Cerita Hikmah Pasar Batik Murah Solo Batik Cinta IBU
0 komentar:
Posting Komentar